Best proxy market Buy Dedicated Proxy on Fineproxy site kqwa2. https://batteryplay.in/

INSANCITA

INSANCITA: Journal of Islamic Studies in Indonesia and Southeast Asia. This journal, with ISSN 2443-2776, was firstly published on February 5, 2016, in the context to commemorate the anniversary of HMI (Himpunan Mahasiswa Islam or Association of Islamic College’s Students) in Indonesia. The INSANCITA journal has been organized by the Alumni of HMI who work as Lecturers at the HEIs (Higher Education Istitutions) in Indonesia, since issue of February 2016 to date; and published by Minda Masagi Press, a publishing house owned by ASPENSI (the Association of Indonesian Scholars of History Education) in Bandung, West Java, Indonesia; and BRIMAN (Brunei-Indonesia-Malaysia Academic Network) Institute in Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, since issue of February 2018 to date.

The articles published in INSANCITA journal are able to be written in English as well as in Indonesian and Malay languages. The INSANCITA journal is published every February and August. This journal is dedicated not only for Indonesian scholars who concern about Islamic studies, but also welcome to the scholars of Southeast Asian countries and around the world who care and share related to the Islamic studies in general.

The INSANCITA journal is devoted, but not limited to, Islamic studies and any new development and advancement in the field of Islamic society. The scope of our journal includes: (1) Language and Literature in Islam; (2) Social Science and Humanities in Islam; (3) History and Philosophy of Education in Islam; (4) Economy and Business in Islam; (5) Science, Technology and Society in Islam; (6) Political, Cultural and Social Engineering in Islam; and (7) Visual Arts, Dance, Music, and Design in Islam.

Since early 2016, the website of INSANCITA journal has migrated to website based on OJS (Open Journal System) program at: mindamas-journals.com/insancita. However, the conventional e-mail address for sending the articles is still able to: insancita.journal@gmail.com


INSANCITA: Journal of Islamic Studies in Indonesia and Southeast Asia,
Volume 3(1), February 2018

Mengenang: Amir Radjab Batubara

Ada benarnya juga pernyataan “No History Without Documents?. Tokoh atau lembaga yang tidak banyak meninggalkan dokumen, sebagai konsekuensinya, akan mengalami kesulitan untuk dikenang atau direkonstruksi secara pasti di sekitar “Apa, Siapa, Kapan, Dimana, Mengapa, dan Bagaimana?-nya. Sumber lisan, seperti wawancara misalnya, bisa saja dilakukan untuk mengatasi ketiadaan sumber tertulis. Tapi dalam historiografi, atau sejarah tentang penulisan sejarah, yang modern, maka sumber tertulis alias dokumen dinilai lebih bermakna dan bisa dipercaya untuk dijadikan rujukan sejarah. Demikianlah kendala utama, ketika editor jurnal INSANCITA akan menuliskan dan mengenang “Amir Radjab Batubara?, seorang tokoh yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) di Indonesia, untuk periode 1955-1957.

Mengenai kapan dan dimana persisnya Amir Radjab Batubara dilahirkan, hingga sekarang belum diperoleh kepastian. Foto dirinya juga susah didapat, meski sudah melayarinya di laman www.google.com Namun jika melihat nama marganya, Batubara, nampaknya Amir Radjab adalah seorang Batak Muslim yang berasal dari Sumatera Utara. Jika rata-rata usia Ketua Umum PB HMI ketika menjabat adalah berusia antara 26-27 tahun, maka Amir Radjab Batubara diperkirakan lahir pada tahun 1928 atau 1929. Sumber resmi Sejarah HMI menyebutkan, secara parsial, bahwa Amir Radjab Batubara adalah mahasiswa yang aktif dan pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Jakarta, sebelum akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI dalam Kongres IV HMI di Bandung, yang berlangsung pada tanggal 14 Oktober 1955, menggantikan Deliar Noer.

Sumber informasi tentang Amir Radjab Batubara juga ada dalam otobiografi Deliar Noer, yang berjudul “Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa? (1996). Konon, menurut Deliar Noer, pada waktu Amir Radjab Batubara menjadi Ketua Umum PB HMI, ada peristiwa sejarah penting di Indonesia, yakni KMAA (Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika), yang dilaksanakan di Bandung pada 30 Mei hingga 7 Juni 1956. Sebagai organisasi mahasiswa yang berbasiskan Islam, HMI merasa perlu untuk berpartisipasi aktif dalam moment bersejarah tersebut. Karena itu, masih menurut Deliar Noer, Amir Radjab Batubara mempercayakan dan menugasinya untuk membuat buletin berbahasa Inggris, yang diberi nama “Media Extra Edition?, untuk dibagi-bagikan kepada delegasi dan mendapat respons positif dari para peserta KMAA.

Informasi tentang Amir Radjab Batubara juga diperoleh serba sedikit dari Ismail Hasan Metareum, tokoh yang akan menggantikannya sebagai Ketua Umum PB HMI untuk periode 1957-1960. Menurut Ismail Hasan Metareum, pada masa kepemimpinan Amir Radjab Batubara inilah mulai dirintis tentang perlunya Pendidikan Kader. Karena istilah “kader? itu sarat dengan makna politis, maka diganti sebutannya dengan Pendidikan Dasar. Istilah ini juga menjadi rancu, karena pada akhir tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mengganti istilah SR (Sekolah Rakyat) menjadi SD (Sekolah Dasar). Apapun istilahnya, urgensi tentang Pendidikan Kader atau Dasar bagi HMI adalah karena Cabang-cabang semakin banyak berdiri dan anggota baru yang datang dari beragam latarbelakang, termasuk pemahaman agama Islam, semakin banyak juga, sehingga diperlukan kesamaan pandangan tentang Islam. Dalam sumber resmi Sejarah HMI, Amir Radjab Batubara juga dikenal sebagai salah seorang Anggota Tim Perumus Tafsir Asas HMI.

Amir Radjab Batubara nampaknya memperoleh gelar Sarjana, Drs. (Doktorandus), dalam bidang Ekonomi. Profesi Sarjana Ekonomi, pada akhir tahun 1950/1960-an, jelas kurang mendapat tempat dan peran yang signifikan di Indonesia, mengingat pemerintah Demokrasi Terpimpinnya Presiden Soekarno (1959-1966) lebih menekankan pembangunan politik sebagai panglima. Setelah Drs. Mohamad Hatta, figur sentral “administrative maker? yang konsen dengan pembangunan ekonomi, mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI (Republik Indonesia) pada tahun 1956, maka pemerintah Demokrasi Terpimpin tidak hanya menyindir para pakar ekonomi sebagai “Profesor Botak yang Textbook Thinking?, tetapi juga membiarkan negeri ini mengalami krisis dan inflasi ekonomi yang hebat pada tahun 1960-an.

Memasuki masa awal pemerintahan Orde Baru, pada akhir tahun 1960-an, membuka peluang bagi para Sarjana Ekonomi, sebagaimana disandang oleh Amir Radjab Batubara, untuk ikut serta berkiprah dalam pembangunan ekonomi sebagai panglima. Namun, strategi dan pola pembangunan ekonomi yang lebih menitikberatkan pada “economic growth? dan kurang menekankan pada pemerataan hasil-hasil pembangunan, menjadikan para Sarjana Ekonomi mulai sangsi dan kecewa dengan maksud baik pemerintah Orde Baru. Mereka juga semakin berada di luar “mainstream? pembangunan ekonomi, ketika pemerintah Orde Baru lebih memilih para pakar ekonomi dan teknokrat yang berasal dari lulusan luar negeri, khususnya Amerika Serikat, dibandingkan dengan lulusan para Sarjana Ekonomi dari dalam negeri. Dalam konteks ini, para Sarjana Ekonomi seperti Amir Radjab Batubara lebih memilih berkiprah pada pembangunan ekonomi mikro dan advokasi terhadap pemberdayaan ekonomi rakyat kebanyakan di tingkat akar rumput.

Nama Amir Radjab Batubara mulai dikenal pada tahun 1990-an, ketika pemerintah Orde Baru mendekati kepentingan ekonomi dan politik umat Islam di Indonesia. Tercatat, misalnya, bahwa Amir Radjab Batubara adalah salah seorang tokoh yang ikut membidani lahirnya BMI (Bank Muamalat Indonesia) pada tahun 1992. Dengan adanya BMI, maka pada tahun-tahun berikutnya muncul beberapa lembaga ekonomi syariah, baik lembaga pelengkap seperti: Badan Arbitrase Muamalat dan Dewan Syariah Nasional maupun lembaga keuangan syariah seperti: BPR (Badan Perkreditan Rakyat) Syariah, BMT (Baitul Maal wa Tamwiil), dan Asuransi Syariah. Semua lembaga ekonomi yang diprakarsai oleh Amir Radjab Batubara tersebut, jelas bersentuhan dengan kepentingan kehidupan rakyat kebanyakan di Indonesia, yang mayoritas beragama Islam.

Selain sebagai praktisi ekonomi, Amir Radjab Batubara nampaknya juga adalah seorang akademisi. Namanya tercatat sebagai salah seorang Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Al-Azhar, yang beralamat di Komplek Mesjid Agung Al-Azhar, Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bukunya yang berjudul “Manajemen Perkreditan Bank Umum?, yang diterbitkan oleh Alfabeta di Bandung, pada tahun 2004, kerap menjadi rujukan bagi para Sarjana yang ingin mendalami seluk-beluk perkreditan rakyat di Indonesia. Kepakaran dalam bidang ekonomi syariah dan perkreditan rakyat, menghantarkan Amir Radjab Batubara memperoleh gelar akademik tertinggi sebagai Profesor.

Amir Radjab Batubara, barangkali, adalah sosok manusia INSANCITA yang rendah hati dan emoh dengan publikasi. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ismail A. Said, Presiden Direktur Dompet Dhuafa, dalam koran Republika di Jakarta, bahwa kesan-kesannya terhadap Amir Radjab Batubara adalah seorang yang sangat santun dalam bergaul, jarang sekali marah, selalu berusaha memahami perasaan lawan bicara, dan tawadhu. Keengganan dirinya untuk menjadi objek publikasi juga adalah termasuk ketika Amir Radjab Batubara disinyalir sebagai pencipta lagu Hymne HMI, yang ditulis tangan langsung oleh beliau ketika menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI, 1955-1957. Namun, kembali pada persoalan di atas, tiadanya dokumen yang otentik dan pasti, menyebabkan Ketua Umum PB HMI periode 2015-2018 sekarang, Mulyadi P. Tamsir, lebih memilih mentasbihkan pencipta dan penggubah lagu Hymne HMI itu kepada R.M. (Raden Muslimin) Akbar, bukan kepada Amir Radjab Batubara.

Akhirnya, pada tanggal 29 Januari 2009, Prof. Drs. Haji Amir Radjab Batubara, mantan Ketua Umum PB HMI periode 1955-1957, meninggal dunia di Jakarta, dalam usia 79 atau 80 tahun. Kini organisasi HMI, termasuk para anggota, kader, dan alumninya di seluruh Indonesia, juga turut mendoakan semoga Allah SWT (Subhanahu Wa-Ta’ala) menerima iman, Islam, dan amal sholeh Pak Amir Radjab Batubara, serta menempatkan Allahyarham di sisi-Nya. Amin ya Robbal ‘Alamin. [MAS].

Cover of INSANCITA Journal, Issue of February 2018:

Organized and Published by:

Minda Masagi Press owned by ASPENSI (Association of Indonesian Scholars of History Education) in Bandung and the Alumni of HMI (Association of Islamic College Students) who work as Lecturers at the HEIs (Higher Education Institutions) in Indonesia; and BRIMAN (Brunei-Indonesia-Malaysia Academic Network) Institute in Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Websites: mindamas-journals.com/insancita

The website of KEMENRISTEKDIKTI RI (Ministry of Research, Technology, and Higher Education of the Republic of Indonesia) in Jakarta related to the scholarly journals is also available online at: http://simlitabmas.ristekdikti.go.id


Vol 3, No 1 (2018)

Table of Contents

Articles

Status of Women in Islam and the Present Indian Scenario
Aisha Siddiqa, Ruby Ruby
Bacaan Intertekstual terhadap Sumber Al-Isra’iliyyat dalam Tafsir Nur al-Ihsan
Mohd Sholeh bin Sheh Yusuff
Pemikiran Ibn Khaldun sebagai Sejarawan Islam Agung dan Relevansinya dengan Historiografi Kontemporer
Haji Awang Asbol bin Haji Mail, Andi Suwirta
The Religious Practices of Deaf Muslims in Malaysia: A Case Study at the Special Education School
Abd Hakim Mohad, Ros Aiza Mohd Mokhtar, Nizaita Omar
Meningkatkan Pendidikan Perempuan Indonesia melalui Optimalisasi Majelis Ta’lim
Helmawati Helmawati
Info-edu-tainment of INSANCITA Journal, Issue of February 2018
Editor Journal INSANCITA
Contents and Forewords of the INSANCITA Journal, Issue of February 2018
Editor Journal INSANCITA
Editors and Guidelines of the INSANCITA Journal, Issue of February 2018
Editor Journal INSANCITA